Sabtu, 15 Desember 2012

Friendship is Love Writer : Husna


"Menyebalkan!"

Aku membuang jauh pandanganku dari dua sosok yang sedang larut dalam perbincangan picisan mereka. Pemandangan itu hanya membuatku geram dan cukup menyayat perasaanku. Aku juga bingung sejak kapan perasaan ini tumbuh, perasaan yang mengubahku menjadi sosok lemah, cengeng, dan juga pemarah.

"Come on Mia, dia itu sahabatmu!" batinku memberontak.

Aku tahu ini gila, tapi kini aku mencintainya. Lantas apa aku salah jika aku jatuh cinta pada sahabatku sendiri? Apa aku salah jika aku marah saat melihatnya dekat dengan gadis lain? Ini bukan salahku kan? Aku bingung harus bagaimana, tapi aku juga tidak ingin perasaan ini dihapuskan! Aku menikmatinya, menikmati saat kebersamaan kami, saat dia memperhatikanku, saat dia mengkhawatirkanku, tapi tidak saat dia membagi perhatiannya untuk orang lain! Gadis lain tepatnya.

"Mia, kenapa kau diam saja?" ucapnya menghampiriku.

"Jangan hiraukan aku, urusi saja pacar barumu itu!" jawabku ketus.

"Hei! Dia hanya teman, sama sepertimu. Oh, tidak, kau lebih spesial darinya". Jelasnya tersenyum sambil mengelus rambutku lembut.

Sebernarnya aku sangat ingin marah padanya, tapi senyum dan sikapnya barusan seolah melelehkan kemarahanku yang menggunung sebelumnya. Oh, Zayn! Kau membuatku gila! Kau membuatku ingin memilikimu, memilikimu seutuhnya tanpa terhalang status persahabatan. Aku sangat ingin kau tahu jika aku mencintaimu, bukan sebagai sahabat tapi cinta seorang wanita kepada seorang pria. Mustahil jika harus aku yang mengakuinya terlebih dahulu padamu, Zayn. Mengertilah akan perasaanku, tak bisakah kau mendengar pengakuan hatiku?

Zayn masih setia meladeni Clara, gadis pirang berparas cantik itu. Bertahan di tempat ini hanya menyakiti perasaanku sendiri. Aku sudah tidak tahan harus melihat kedekatan mereka.

"Aku pulang!" teriakku ke arah Zayn. Ia hanya membalas dengan lambaian tangan, sama sekali di luar yang aku harapkan. Aku berharap dia menahanku, bergegas mengambil motornya lalu mengantarku pulang.

*****

Sudah seminggu aku tidak melihat ataupun mendengar suaranya. Ya, dia tak menemui bahkan tidak untuk sekedar meneleponku. Aku merindukannya! Tapi kurasa tidak dengannya, mungkin dia sedang sibuk berkencan dengan Clara atau dengan gadis-gadis cantik lainnya di luar sana. Tidak tahukah dia jika itu begitu menyakitiku?

"Drrrtttt...Drrrrtttt...Drrrrtttt...". Handphoneku bergetar, kuharap itu Zayn! Cepat kusambar handphoneku yang tergeletak di meja belajar dan benar, Zayn meneleponku!

"Ehm... ehm..." Aku mencoba membersihkan suaraku agar tidak terdengar parau.

"Hallo"

"Hei Mia! Kenapa kau tidak menghubungi seminggu ini? Apa kau tidak tahu jika sahabatmu ini sedang sakit? Kau sahabat yang payah!" cerocos Zayn di seberang telepon.

"Apa? Kau sakit? Sakit apa? Apa sekarang kau baik-baik saja? Siapa yang merawatmu? Dan, bagaimana keadaanmu sekarang?" tanyaku panjang lebar, aku sangat mengkhawatirkan keadaannya saat ini.

"........."

"Hallo Zayn! Apa kau mendengarku? Apa kau baik-baik saja? Hei! Kenapa kau hanya diam?" tanyaku panik karena tidak mendengar jawaban Zayn atas pertanyaanku.

"Hahahaha...tenanglah Mia, aku masih hidup. Aku hanya demam biasa, kau tak perlu terlalu panik seperti itu, hahahaha..."

Dia menertawaiku yang sangat mengkhawatirkannya. Dia tidak menyadari betapa khawatirnya aku saat tahu dia sedang sakit. Mungkin itu terdengar seperti lelucon baginya.

"Kau jahat! Apa kau kira itu lucu? Apa kekhawatiranku hanya seperti lelucon bagimu? Aku kecewa padamu Zayn!"

"Mia, kenapa kau marah? Ayolah, aku meneleponmu bukan untuk membuatmu marah. Aku merindukanmu, honey!" ada sedikit penekanan saat dia mengucapkan kalimat terakhirnya. Dan itu cukup menggetarkan hatiku.

"Benarkah? Kau merindukanku?" tanyaku bersemangat.

"Tentu saja! Aku merindukan omelanmu, kecerobohanmu, dan juga mimik wajahmu yang aneh itu. Mia, I really miss you!"

"Oh, hanya itu" balasku pelan.

"Lalu?"

"Ah, tidak. Sore nanti aku akan menjengukmu. Bye" aku memutus sambungan telepon begitu saja.Aku sedikit kesal dengan alasannya merindukanku, ya karena aku terlalu berharap lebih darinya.


*****

Sore ini sesuai janjiku aku pergi ke rumah Zayn untuk menjenguknya. Aku membawakan bubur spesial buatanku untuknya, kuharap dia menyukainya. Aku bergegas menekan bel rumahnya. Sekali. Dua kali. Belum ada yang membukakan pintu untukku. Saat aku hendak menekan bel untuk ketiga kalinya, baru pintu kayu di hadapanku ini terbuka. Bibi Marry, pembantu di keluarga Zayn yang membukakannya untukku.

"Apa Zayn ada?" tanyaku sopan.

"Ya dia ada di kamarnya. Kebetulan dia sedang bersama seorang teman yang juga datang untuk menjenguknya"

"Seorang teman?" tanyaku penasaran.

"Ya, seorang gadis cantik yang anggun" jawabnya tersenyum sambil berlalu meninggalkanku.

Wanita? Siapa dia? Apa mungkin dia Clara? Kurasa aku datang di waktu yang salah. Apa aku pulang saja dan kembali lagi besok? Ah, tidak tidak tidak, bagaimana dengan bubur ini? Aku sudah susah payah memasaknya khusus untuk Zayn.

Aku sangat bingung untuk memutuskan tetap menjenguk Zayn atau tidak. Akhirnya kumantapkan langkahku menuju kamar Zayn. Aku menarik nafas dalam sebelum mengetuk pintu kamar Zayn yang setengah terbuka.

"Masuklah Mia, aku sudah menunggumu dari tadi" sambut Zayn dengan senyum mengembang. Aku sangat menyukai senyum itu!

"Benarkah? Sepertinya kau sudah terlihat baik-baik saja" jawabku dengan pandangan yang tak lepas dari Clara. Ya, ternyata benar dia gadis yang dimaksud Bi Marry tadi.

"Hei, apa yang kau bawa untukku itu?" tanya Zayn sambil menunjuk bungkusan yang kubawa untuknya.

"Oh, ini bubur untukmu" aku berjalan menuju Zayn yang duduk bersandar di tempat tidur.

"Benarkah? Kau memasaknya sendiri?" Zayn menautkan kedua alis tebalnya.

"Tentu saja, aku memasaknya khusus untukmu. Hm, Clara bisakah aku duduk di samping Zayn untuk menyuapinya bubur ini?" pintaku pada Clara yang duduk manis tepat di sisi kiri Zayn.

"Oh, tentu" jawabnya degan senyum yang menurutku terlalu dipaksakan.

Aku tahu dia pasti merasa tidak senang dengan sikapku barusan. Tapi aku tak lagi bisa menahan kecemburuanku saat melihatnya duduk berdekatan di samping Zayn bersiap menyuapi Zayn dengan buah-buahan di pangkuannya.

"Apa kau yakin aku harus memakannya Mia?" tanya Zayn saat aku duduk di sampingnya berisiap untuk menyuapinya. Kurasa dia sedikit khawatir dengan bubur buatanku, karena dia tahu kalau aku sama sekali tidak bisa memasak. Tapi aku tidak peduli, dia harus mencicipi bubur buatanku ini. Aku mengambil sesendok penuh bubur di tanganku.

"Tunggu Mia, kurasa itu terlalu penuh jika harus masuk ke mulutku"

"Baiklah jika kau tak mau, aku bisa membuang bubur ini jika kau memang tidak menginginkannya" sergahku sambil bersiap membuang bubur yang kupegang itu ke tempat sampah di sudut kamar. Tapi Zayn menahanku dan menuntunku untuk kembali duduk.

"Jangan begitu, baiklah sekarang suapi aku. Aaaaa..." ucap Zayn manis sambil membuka lebar mulutnya.

"Bagaimana?" tanyaku penasaran dengan komentar Zayn atas masakanku.

Zayn hanya mengacungkan kedua jempolnya ke arahku dengan mimik wajah yang kurasa, aku tahu artinya! Aku menyuap sesendok bubur itu ke mulutku, dan sekarang aku tahu rasanya. Aku bergegas menuju tong sampah di sudut kamar dan langsung menumpahkan sesuap bubur tadi. Aku tak bisa mendefenisikan seperti apa rasa bubur buatanku itu.

"Maaf Zayn, seharusnya aku mencicipinya terlebih dahulu sebelum memberikannya padamu. Aku sungguh minta maaf" ucapku penuh penyesalan.

"Kurasa memang lebih baik jika kau memakan buah yang kubawa ini saja Zayn, mereka masih segar dan tidak akan mengacaukan indra perasamu, seperti bubur itu" potong Clara mendekati Zayn. Aku hanya tertunduk pasrah mendengar ucapan Clara. Aku memang gadis bodoh!

"Sudahlah, aku rasa bubur itu tidak terlalu buruk." Zayn tersenyum menatapku.

"Yang benar saja Zayn, dia sendiri saja tak sanggup untuk menelan bubur buatannya itu" Clara tetap menjelekkanku di depan Zayn.

"Itu tidak masalah bagiku, yang penting kau berniat baik membuatkannya untukku. Hm, ladies sepertinya aku harus ke toilet, kurasa ada sedikit yang salah dengan perutku" ucap Zayn lemah.


*****

Setelah insiden bubur itu aku sengaja tidak menghubungi Zayn, aku benar-benar merasa malu da bersalah padanya. Bebepara kali Zayn meneleponku, mengajakku keluar, tapi aku selalu menolaknya dengan berbagai alasan. Aku merasa tidak berguna, dan kurasa Zayn lebih membutuhkan Clara ketimbang diriku. Jujur aku sangat merindukannya, sampai-sampai aku jadi sering menangis karena terlalu merindukannya.

*****

Hari ini kejenuhanku telah mencapai puncaknya, setelah sekian lama aku hanya mengurung diri di rumah tanpa bertemu dengan Zayn. Aku memutuskan untuk jalan- jalan ke taman bermain di komplek dekat rumahku, aku ingin menghirup udara segar sore ini. Taman ini adalah tempat bermain favorit kami saat kami masih kecil, ya dulu aku dan Zayn sangat suka menghabiskan waktu di taman ini.

Aku duduk di ayunan tempat biasa dulu aku selalu menghabiskan waktuku bersama Zayn, saling bercerita tentang banyak hal, tertawa bersama. Aku kembali ke masa-masa itu, mengingat semua kenanganku bersamanya. Air mataku mulai mengalir tanpa bisa kutahan, aku memang membutuhkannya untuk selalu ada disisiku. Sekuat apapun aku mencoba untuk menghindarinya, semua terasa sia-sia karena itu berarti aku menyakiti diriku sendiri. Aku mencintainya, tapi aku sama sekali tak ingin merusak persahabatan yang telah lama terjalin diantara kami. Air mataku semakin deras, aku menangis sendiri di taman ini.

"Kau jelek saat menangis seperti itu" seseorang mengagetkanku dengan ucapannya barusan. Aku bergegas mengelap air mataku dan menoleh ke arah pemilik suara itu.

"Zayn! Sedang apa kau disini?" tanyaku kaget melihat sosok di depanku.

"Tentu saja mancarimu, tadi aku ke rumahmu dan ibumu bilang kau ke taman ini" jawab Zayn santai sambil duduk di kursi ayunan di hadapanku.

Lama aku terdiam menatap matanya, begitu pula dengan Zayn. Aku merindukan mata itu, aku tak tahan lagi. Aku menunduk dan kembali terisak, Zayn merengkuhku dalam pelukannya lalu mengelus punggungku lembut.

"Sudahlah, jangan menangis lagi. Ceritakan sebenarnya apa yang terjadi denganmu. Aku siap menjadi pendengar setiamu" Zayn mencoba menenangkanku. Aku hanya terdiam, hanyut dalam pelukannya. Aku tak tau harus berkata apa.

"Mia, apa kau baik-baik saja?" tanya Zayn lembut.

"Maafkan aku Zayn" jawabku sambil terisak

"Maaf? Maaf untuk apa Mia? Aku bahkan akan memaafkanmu sebelum kau berbuat salah padaku, sudahlah jangan menangis yaa"

Aku melepaskan pelukan Zayn, menunduk malu. Aku mencoba mengumpulkan keberanianku untuk menyatakan perasaanku padanya, aku siap dengan apapun jawaban ataupun pandangannya terhadapku nanti.

"Aa..aa..aku mencintamu Zayn" ucapku pelan, sangat pelan.

Zayn hanya tersenyum, bangkit dari duduknya lalu berlutut hingga tingginya menyamai posisi dudukku. Ia menghapus air mata di pipiku dengan kedua tangannya, dan mengangkat wajahku untuk menatapnya.

"Jadi ini kesalahanmu itu? Kesalahan yang besar memang, kau harus bertanggung jawab atas kesalahanmu ini" ucap Zayn dengan tampang serius.

"Maksudmu?"

"Kau harus bersedia menjadi kekasihku!" jawabnya lantang.

Aku terperangah beberapa saat setelah mendengar ucapan Zayn. Apa aku salah dengar? Kurasa tidak! Tapi jika ya, aku berharap kesalahan itu menjadi nyata.

"Jangan biarkan mulutmu terbuka begitu lama, apa kau ingin serangga masuk ke dalam mulutmu?" ucap Zayn menyadarkanku, lalu kembali memelukku erat. Jauh lebih erat dari yang dia lakukan tadi.

"I love you too Mia, aku juga sudah lama memendam perasaan ini untukmu. Aku takut kau menolakku dengan alasan persahabatan, tapi kini semuanya telah jelas. Tak ada yang perlu ditutupi lagi. Aku juga mencintaimu, sangat sangat sangat mencintaimu! bisik Zayn di telingaku.

END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar